Sistem pembayaran di Indonesia saat ini semakin beragam jenisnya. Mulai dari kartu hingga pembayaran digital telah mengubah peta sektor keuangan. Utamanya generasi milenial, mereka tidak lagi takut keluar rumah tanpa uang tunai karena lebih mengandalkan kartu dan ponsel untuk melakukan pembayaran.
Bank Indonesia (BI) yang salah satu tugasnya menjaga sistem pembayaran, merasa perlu mewarnai momentum ini dengan kebijakan. Hal tersebut dipaparkan oleh Filianingsih Hendarta, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI di Jakarta, (4/4/2019).
Instrumen pembayaran sendiri terdiri dari server based dan chip based. Berdasarkan data BI, ada 22 penerbit dari sektor non-bank dan 12 penerbit dari bank. Untuk bank, penggunaan chip based sebesar 83,3 persen dan penggunaan server based hanya 16,7 persen. “Sementara kalau non-bank itu lebih banyak server. Kalau non-bank itu chipnya 0,2 persen, servernya 99,8 persen. Usernya, sekarang non-bank banyak, yakni 113,5 juta user. Sementara untuk bank itu 60,3 juta user.," jelas Filianingsih.
Sementara untuk ticket size non-bank (33 ribu) lebih tinggi dari bank (13 ribu). Filianingsih menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena kebanyakan uang elektronik milik bank kebanyakan digunakan untuk e-toll yang nilainya tidak besar. Sementara untuk non-perbankan, dipakai untuk transaksi yang lain sehingga lebih banyak.
Filianingsih menjelaskan, ada tiga tantangan yang dihadapi sistem pembayaran Indonesia. Pertama, perkembangan teknologi mengubah landscapenya. Kedua, ekosistem non-tunai Indonesia belum efisien. Dan ketiga, letak geografis Indonesia berupa kepulauan tersebar, sehingga perlu usaha besar untuk distribusi uang.
Menanggapi kondisi tersebut, BI berusaha mengubah pola pikir orang Indonesia dari yang menyukai tunai ke non-tunai lewat elektronifikasi. “Kami juga memperkuat ekosistem dan keuangan digital melalui penerbitan berbagai regulasi,” tambah Filianingsih. Hal ini juga merupakan salah satu usaha mencapai target inklusi keuangan Indonesia sebesar 75 persen (saat ini masih di bawah 25 persen).
QR Code menjadi salah satu teknologi antarmuka pembayaran yang cukup banyak digunakan oleh pemain besar teknologi keuangan, sebut saja OVO, Gopay, hingga Dana. Mereka bekerja sama dengan segala kalangan; mulai dari pedagang kaki lima hingga toko serba ada. Pasalnya, QR Code dinilai mudah digunakan, fleksibel, tidak perlu investasi besar, dan jangkauannya besar.
Filianingsih menjelaskan, ada dua jenis model QR Code. Pertama adalah customer presented mode di mana nasabah akan menunjukkan QR Code pada gawai pintar dan pedagang akan memindainya. Model ini kompleks dan pedagang harus punya pemindai.
Kedua, merchant resented mode, di mana pedagang mengeluarkan QR Code dan nasabah yang akan melakukan pemindaian. Jenisnya ada dua, yakni Static QR (per pedagang tidak berubah dan sifatnya tetap, cocok untuk pedagangn kecil) dan Dynamic QR (dibuat secara real time setiap transaksi).
Perbedaan metode QR Code menimbulkan beberapa masalah, dengan penerapannya yang ekslusif dan tidak mendukung interoperabilitas. “Selain itu, melihat contoh dari negara lain yang banyak mengalami scam, BI merasa perlu melakukan standarisasi,” ungkap Filianingsih.
Pada piloting tahap pertama kemarin, BI melakukan pendekatan terhadap pedagang dulu. Kemudian sekarang BI sedang masuk piloting tahap kedua untuk menguji isu atau permasalahan yang timbul di masyarakat. Filianingsih menyampaikan, “Kami melakukan ujicoba crossborder dengan Bank Sentral Singapura dan Thailand. Implementasi secara nasional kami harapkan dapat dilaksanakan pada kuarter II tahun 2019," ungkap dia.
Editor : Eva Martha Rahayu
klik disini jika anda membutuhkan jasa bersih kost dan rumah jogja