Banyaknya makanan yang tersisa dari sebuah acara pesta atau hajatan sering kita temukan. Mungkin Anda sendiri pernah mengalami hal seperti ini ketika menggelar acara hajatan. Biasanya ini terjadi karena salah perkiraan mengenai jumlah tamu yang datang. Dan, solusi yang biasa diambil ialah membagikan makanan yang masih layak santap itu kepada kerabat terdekat.
Namun, bila Anda kebetulan pengelola bidang F&B (food and beverage) di sebuah hotel atau pengusaha katering pesta, Anda mungkin akan pusing juga menghadapi masalah yang berulang kali terjadi ini. Itulah yang dialami Dedhy Trunoyudho (kini 27 tahun), yang punya pengalaman sebagai pengusaha katering pernikahan, yang setiap pekan menemukan kejadian seperti ini. Ada etika bahwa staf katering atau F&B tidak boleh membawa pulang makanan tersisa itu. Karena itu, praktik yang banyak dilakukan: makanan itu dibuang saja, dengan alasan lebih praktis dan cepat.
Namun, bagi Indah Audivtia, istri Dedhy, solusi seperti itu terasa menyesakkan dada. Kegelisahan itulah yang membuat pasangan suami-istri ini mencari solusi yang lebih baik, yakni mendonasikan makanan berlebih itu. Pasutri ini kemudian mengajak rekan mereka, Eva Bachtiar (kini 33 tahun), yang juga punya kepedulian yang sama terhadap food waste, untuk menginisiasi gerakan food bank, dengan mendirikan lembaga social enterprise bernama Garda Pangan, yang berkantor di Gubeng, Surabaya. Mereka bertiga menggodok konsepnya sejak September 2016, tetapi baru menjalankannya secara operasional mulai Juni 2017.
Setelah mendalami, mereka menemukan fakta bahwa masalah makanan tersisa dan food waste ini bukan soal sepele. Menurut Eva yang dipercaya sebagai CEO Garda Pangan, Indonesia merupakan negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Angka rata-ratanya setiap orang bisa membuang 300 kg makanan tiap tahun! Ironisnya, masih ada sekitar 19,4 juta orang Indonesia yang masih kelaparan dan berjuang untuk dapat makan setiap harinya.
Eva menjelaskan lebih lanjut, food waste itu memberikan tiga dampak. Pertama, dampak ekonomi. Karena, ketika kita membuang makanan, sebenarnya yang terbuang bukan hanya makanan tersebut, tetapi juga sumber daya untuk memproduksinya seperti bahan baku makanan, listrik, bahan bakar, dan tenaga manusia.
Kedua, dampak lingkungan. Sebab, sampah makanan yang tertumpuk di landfillmengeluarkan gas metana yang 23 kali lebih berbahaya dibandingkan karbondioksida dan merupakan salah satu gas penyumbang efek rumah kaca.
Ketiga, dampak sosial, karena sebuah ironi bahwa makanan yang terbuang berjumlah besar, sementara masih banyak orang kelaparan.
Boleh dibilang, kehadiran Garda Pangan ini menjawab dua masalah sekaligus: masalah food waste dari para pebisnis makanan dan masalah kekurangan makanan di kalangan masyarakat prasejahtera. “Jadi, Garda Pangan ini terbentuk untuk menghubungkan potensi makanan berlebih ini dengan masyarakat prasejahtera yang membutuhkan makanan tersebut,” kata Eva.
Memulai kegiatannya, kata Eva, merupakan tantangan tersendiri. Terutama dalam hal mencari early adopter-nya. “Karena konsep food bank sendiri belum terlalu familier di masyarakat Indonesia,” ujarnya. Para early adopter itu didapatkan Garda Pangan lewat koneksi di antara relawan. “Mitra yang tergabung biasanya adalah yang punya pikiran terbuka dan berjiwa sosial.”
Sejak mulai beroperasi pada Juni 2017, Garda Pangan telah menggaet mitra yang terdiri dari satu restoran, dua tenant makanan, dua wedding organizer, satu distributor buah, tiga bakery, dan satu pasar organik. Sementara itu, untuk menjalankan kegiatannya, Garda Pangan saat ini diperkuat oleh 30 anggota tim inti dan lebih dari 300 relawan harian.
Eva menyebut kegiatan penanganan makanan berlebih ini sebagai food rescue, yang merupakan sebuah rangkaian aktivitas. Rangkaiannya: briefing relawan – penjemputan makanan ke lokasi mitra – pengambilan makanan – cek kualitas makanan – distribusi makanan ke penerima.
Untuk pengemasan, Eva menyebutkan, pada dasarnya pihaknya berusaha meminimalkan penggunaan kemasan plastik yang tidak diperlukan. “Pada saatfood rescue, makanan kami pindahkan dari kontainer mitra ke kontainer Garda Pangan,” ungkapnya. Namun, untuk beberapa jenis makanan yang sudah dibungkus dari mitra, tetap akan diterima.
Adapun pada saat distribusi, masyarakat penerima diminta untuk membawa piring masing-masing. “Prinsip kami adalah mendistribusikan makanan dengan cara bermartabat,” ujarnya. Karena itu, jika misalnya pada saat food rescueporsi makanannya tidak lengkap, misalnya hanya ada nasi dan sayur, pihak Garda Pangan akan melengkapinya dengan lauknya.
Menurut catatan Garda Pangan, hingga saat ini lembaga ini telah mengumpulkan 52.685 porsi makanan, atau setara dengan 7,9 ton potensi sampah makanan terbuang, dan menyalurkannya kepada 43.590 penerima manfaat. Angka itu setara dengan rata-rata sekitar 400 kg makanan dan sekitar 2.000 penerima manfaat setiap bulannya.
Sejauh ini, penerima manfaat (beneficiaries) dari kegiatan Garda Pangan adalah masyarakat prasejahtera yang telah disurvei dengan cermat agar bantuan yang diberikan tepat sasaran. Kelompok penerima ini terdiri dari kaum dhuafa, yatim piatu, janda, lansia, difabel, pengungsi, dan anak jalanan. Eva menyebutkan, para penerima manfaat ini telah didata secara komprehensif, misalnya jumlah warga, profesi, fasilitas penyimpanan makanan yang tersedia, jam distribusi, serta preferensi makanan. Saat ini kalangan penerima yang sudah terdata adalah masyarakat prasejahtera di 101 kantong kemiskinan di Surabaya.
Eva mengaku kegiatan Garda Pangan selama ini didukung oleh bantuan dari berbagai pihak. “Kami sebenarnya tidak pernah menyebarkan proposal, tapi banyak pihak yang menawarkan dukungan tersebut,” katanya.
Selain dukungan berbagai pihak tadi, Garda Pangan juga berupaya mencari pendanaan. Antara lain, lewat jalur public crowdfunding di situs Kitabisa.com (subsitus: Kitabisa.com/gardapangan).
Lembaga ini juga rajin mengikuti kompetisi, yang hadiahnya jika menang dapat digunakan sebagai dana operasional.
Garda Pangan juga baru saja membuka opsi pendanaan lain berupa penjualan paket donasi zero-waste merchandise. Paket donasi ini berisi produk-produk yang bisa mendukung praktik zero-waste, sekaligus membantu pengiriman makin banyak makanan untuk masyarakat prasejahtera.
Menurut Eva, seiring perjalanan waktu dan adanya liputan media, banyak pihak yang tertarik menjadi mitra Garda Pangan. “Kebanyakan memang baru tahu bahwa di Indonesia ada gerakan semacam ini, dan ternyata banyak juga pebisnis makanan yang sering kebingungan dengan makanan berlebih yang mereka buat,” katanya.
Layanan food rescue untuk para mitra ini hingga sekarang masih dilakukan secara gratis. “Kami masih mengedukasi masyarakat dan para pebisnis makanan, dan juga mengadvokasi pemerintah agar menciptakan iklim yang kondusif,” katanya. Saat ini, fokus jangka pendek Garda Pangan memang memperluas cakupan mitra dengan mengajak lebih banyak kalangan pebisnis makanan, juga penerima manfaat.
Ke depan, dalam jangka panjang, Eva mengungkapkan, Garda Pangan juga ingin menjadi social enterprise yang dapat sustain dan memiliki sumber pendanaan secara mandiri, agar bisa terus memberikan dampak positif bagi masyarakat. Karena itu, para mitra industri hospitality dan pebisnis makanan yang dikelola makanan berlebihnya ini nantinya akan dikenai biaya, dalam format model bisnis sustainable and responsible food waste management. “Kami masih terus mematangkan model bisnis kami untuk menjadi social enterpriseyang sustainable,” katanya. (*)
Reportase:
Arie Liliyah
Riset: Armiadi
rumah kotor, berantakan, dan kurang nyaman? mungkin anda harus membersihkannya, klik jasa bersih rumah jogja untuk mendapatkan pelayanan terbaik