NEW YORK. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China telah berlangsung kurang lebih setahun lamanya. Analis menilai, kondisi ini telah menjelma menjadi perang mata uang.
Mengingatkan saja, yuan telah terdepresiasi melampaui level 7 per dollar pada pekan lalu untuk kali pertama sejak krisis finansial global 2008. Kondisi ini yang kemudian memicu Kementerian Keuangan AS menuding China sebagai manipulator mata uang.
Dalam laporan terbarunya, Bank of America (BofA) Merrill Lynch Global Research memprediksi apa yang bakal terjadi pada yuan China dalam tiga skenario seperti yang dikutip dari CNBC.
Skenario 1: Tamparan hebat dari perang dagang, yuan anjlok 10%
BofA Merrill Lynch melihat, impor China dari AS hanya sepertiga dari impor Amerika dari China. Ini artinya, China tidak bisa menyaingi pajak impor AS dalam hal kuantitas. Meski demikian, satu hal yang Beijing dapat lakukan adalah mendevaluasi yuan sebesar 10%. Ini bisa menganulir dampak dari kenaikan pajak impor barang-barang China sebesar 10%.
Skenario 2: Jika terjadi kebuntuan, posisi yuan tidak berubah
"Jika terjadi kebuntuan, nilai yuan akan bergerak flat, hanya karena Beijing akan sangat lelah telah membuah AS marah dengan pelemahan yuan atau munculnya tantangan baru yakni menghadapi para eksportir dengan membuat yuan menguat," kata bank investasi tersebut.
Skenario 3: Jika terjadi kesepakatan perdagangan, yuan akan terapresiasi bertahap
Dalam situasi ini, nilai yuan akan menguat meski terbatas.
"Ini karena setiap kesepakatan yang terjadi akan meliputi stipulasi yang akan membatasi ruang bagi pelemahan yuan ke depannya. Jika Beijing merasa pelemahan yuan terbatas, Beijing juga akan membatasi penguatan yuan, khususnya jika setiap apresiasi RMB akan sulit dibalikkan secara politis.
Pemenang dan yang kalah di Asia
Sementara itu, Jameel Ahmad, global head of currency strategy and market research FXTM menilai, anjloknya nilai tukar yuan akan turut mempengaruhi pelemahan mata uang lain di kawasan regional, termasuk rupe India, dollar Singapura, won Korea, ringgit Malaysia, dan rupiah Indonesia.
Di tengah perang dagang, won Korea sepertinya akan menjadi pihak yang mengalami kekalahan terbesar. Menurut analis BofA Merrill Lynch, perdagangan Korea Selatan sangat tergantung pada China dan AS. Sebab, negara ini menjadi rantai suplai antara kedua negara. Di sisi lain, won juga terpukul sentimen perselisihan dengan Jepang, yang kemudian berdampak pada hubungan perdagangan antara keduanya.
BofA Merrill Lynch juga menulis, adapun mata uang yang paling memiliki ketahanan paling tinggi di antara mata uang emerging market adalah baht Thailand.
Di luar upaya bank sentral Thailand untuk melemahkan mata uangnya, baht menguat secara stabil. Hal ini didukung oleh surplus perdagangan Thailand yang cukup besar.
Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
perlu jasa bersih bersih di jogja? hubungi kami segera!