KlinKlin Indonesia merupakan jasa cleaning service panggilan no.1 di Indonesia. Kami melayani jasa bersih kost Bandung, jasa bersih rumah Bandung dan cleaning service Bandung. Cabang kami tersebar di berbagai wilayah seperti cleaning service jakarta, bandung, jogja, surabaya, malang, semarang, balikpapan, bontang dan lainnya. Hubungi 085877678008
Showing posts with label entrepreneur. Show all posts
Showing posts with label entrepreneur. Show all posts

Southeast, Kerajinan Kulit Handmade Kin & Nadya


Harapan dan cita-cita anak muda sering sulit diduga. Seperti yang terjadi pada pasangan suami-istri asal Bandung: Kin Darma dan Nadyatami Amalia Nurul Ichwan. Dua hari setelah menikah, mereka merantau ke Bali, mencari kehidupan baru dari nol dengan melepaskan diri dari semua embel-embel, fasilitas pendidikan --bahkan memilih putus kuliah-- ataupun fasilitas ekonomi dari orang tua.





Apa yang mereka cari? “Kami ingin menjemput peruntungan di Pulau Dewata yang cocok dengan jiwa kami,” ungkap Kin yang bersama istrinya pernah menempuh pendidikan di bidang desain komunikasi visual di Bandung, tetapi tidak selesai. “Hobi saya menggambar karakter. Tapi di Bali saya bekerja sebagai freelance photographer,” kata Kin yang saat menjadi pengantin baru itu, tinggal di rumah kontrakan, tanpa saudara, dan hanya memiliki sedikit teman.





Rupanya Bali bukan tempat yang tepat bagi pasangan muda ini. Selama di sana, banyak sekali peristiwa yang membuat mereka trauma dan depresi, mulai dari harus melakukan aborsi karena janin calon bayi mereka tidak berkembang, sang istri yang tidak pernah berhenti menangis, hingga uang terkuras habis karena ditipu seseorang di mesin anjungan tunai mandiri.





Gara-gara suasana batin yang tidak kondusif, kurang dari setahun, Kin dua kali berganti pekerjaan. Awalnya, pernah bekerja dan tinggal di wilayah selatan Bali, kemudian pernah juga bekerja dan tinggal di wilayah timur Bali. Kedua pengalaman itu sangat mengesankan bagi Kin dan istri, sehingga ketika mencari nama untuk produk kerajinannya, lahirlah nama Southeast untuk mengingatkan masa-masa perjuangan mereka. “Southeast adalah nama yang menjadi motivasi kami dalam berjuang karena mengingatkan pengalaman dan pelajaran selama di Bali, termasuk suka, duka, dan kecewa,” ungkap Kin yang kini berusia 32 tahun.





Di tengah keterpurukan itu, Kin dan istri memang rajin menonton video tutorial di YouTube, untuk menggali ide-ide untuk berwirausaha di bidang aksesori kerajinan berbahan kulit. “Kami ingin kembali ke Bandung, tapi saya tidak mau jadi fotografer karena tidak menjanjikan,” kata Kin.









Yang membedakan dengan produk pengrajin lain, kerajinan kulit mereka handmade,dibuat dengan tangan, bukan dengan mesin. “Kami sendiri yang membuatnya secara langsung, sehingga kami bisa menjamin kualitas yang ditawarkan,” kata Kin yang menarget pasar mahasiswa dan pemuda idealis di rentang usia 18-40 tahun.





Selain dibuat dengan tangan, Southeast juga memilih tanpa mitra, tanpa pinjaman modal, tanpa bantuan finansial dari orang tua. Mengapa? “Kami benar-benar ingin mandiri,” ujar Kin menegaskan.Ia menggunakan modal awal Rp 9 juta dari hasil penjualan beberapa peralatan fotografi.





Setahap demi setahap, Southeast menemukan pelanggan. Lewat penjualan secara online, melalui Instagram dan beberapa e-commerce, pelanggan Southeast mulai terbentuk. “Kami selalu mengembangkan inovasi baru, menghindari kesamaan dengan kompetitor. Kami pun mewarnai bahan kulit kami sendiri, sehingga ada beberapa warna yang tidak dimiliki kompetitor lain,” kata Kin tentang perbedaan produknya dengan produk lain.





Adapun bahan yang digunakan tetap kulit. Selain menggunakan kulit sapi, Southeast juga memakai kulit kerbau karena tingkat kepadatannya baik dan tidak melar. Berbeda dengan kulit sapi pada umumnya, yang apabila menahan beban kamera, DSLR khususnya, akan melar.





Pihaknya juga mewarkan penulisan nama inisial pembeli pada produk yang dibeli secara gratis. “Saat ini kami sedang bereksperimen untuk mengembangkan warna, desain. dan motif baru,” kata Kin.









Memang, untuk produksi, diakui Kin, masih menjumpai banyak kendala. Pengalaman yang paling tidak mengenakkan ialah ketika menghadapi sulitnya sistem impor di Indonesia, karena beberapa material yang digunakan berasal dari Jepang, Hong Kong, dan Italia. “Kami pernah kehabisan material produksi dan harus menunggu selama enam bulan karena beberapa bahan kami tertahan di Bea Cukai,” kata Kin mengenang.





Dengan harga jual tali jam Rp 190.000-250.000, dompet Rp 350.000-780.000, dan tas sekitar Rp 2.000.000, Kin optimistis dapat melampaui target penjualan. Kini Southeast berhasil menjual 40-60 kerajinan per bulan. Karena sistemnya praorder, pelanggan juga bisa memilih bahan dan warna yang diinginkan. Untuk praorder dompet, 4-5 hari selesai. Produk yang lain, bisa selesai dalam sehari.





Dengan model penjualan seperti itu, omset Southeast rata-rata Rp 25 juta-30 juta per bulan. Kalau di bulan-bulan puncak, permintaan akan melebihi jumlah itu. Kin menyadari, sebagai pemain artisan, ego dan idealisme sangat tinggi. Sehingga, saat ini mereka masih memproduksi sendiri produknya, tanpa bantuan karyawan. Kin menangani desain, produksi, dan pewarnaan, sedangkan Nadya menjahit dan mengemas.





“Kami menganggap produk kami sebagai karya, bukan sekadar barang. Kami tidak memiliki kepercayaan untuk menyerahkan proses produksi ke tangan orang lain,” kata Kin tandas. Ia yakin, dengan idealisme seperti itu, bisnis kerajinan kulitnya akan tetap maju. (Reportase: Chandra Maulana)





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/southeast-kerajinan-kulit-handmade-kin-nadya





apakah anda sibuk dan tidak sempat membersihkan hunian anda, klik jasa bersih bersih jogja untuk mendapatkan solusi terbaik


Download >>

Southeast, Kerajinan Kulit Handmade Kin & Nadya


Harapan dan cita-cita anak muda sering sulit diduga. Seperti yang terjadi pada pasangan suami-istri asal Bandung: Kin Darma dan Nadyatami Amalia Nurul Ichwan. Dua hari setelah menikah, mereka merantau ke Bali, mencari kehidupan baru dari nol dengan melepaskan diri dari semua embel-embel, fasilitas pendidikan --bahkan memilih putus kuliah-- ataupun fasilitas ekonomi dari orang tua.





Apa yang mereka cari? “Kami ingin menjemput peruntungan di Pulau Dewata yang cocok dengan jiwa kami,” ungkap Kin yang bersama istrinya pernah menempuh pendidikan di bidang desain komunikasi visual di Bandung, tetapi tidak selesai. “Hobi saya menggambar karakter. Tapi di Bali saya bekerja sebagai freelance photographer,” kata Kin yang saat menjadi pengantin baru itu, tinggal di rumah kontrakan, tanpa saudara, dan hanya memiliki sedikit teman.





Rupanya Bali bukan tempat yang tepat bagi pasangan muda ini. Selama di sana, banyak sekali peristiwa yang membuat mereka trauma dan depresi, mulai dari harus melakukan aborsi karena janin calon bayi mereka tidak berkembang, sang istri yang tidak pernah berhenti menangis, hingga uang terkuras habis karena ditipu seseorang di mesin anjungan tunai mandiri.





Gara-gara suasana batin yang tidak kondusif, kurang dari setahun, Kin dua kali berganti pekerjaan. Awalnya, pernah bekerja dan tinggal di wilayah selatan Bali, kemudian pernah juga bekerja dan tinggal di wilayah timur Bali. Kedua pengalaman itu sangat mengesankan bagi Kin dan istri, sehingga ketika mencari nama untuk produk kerajinannya, lahirlah nama Southeast untuk mengingatkan masa-masa perjuangan mereka. “Southeast adalah nama yang menjadi motivasi kami dalam berjuang karena mengingatkan pengalaman dan pelajaran selama di Bali, termasuk suka, duka, dan kecewa,” ungkap Kin yang kini berusia 32 tahun.





Di tengah keterpurukan itu, Kin dan istri memang rajin menonton video tutorial di YouTube, untuk menggali ide-ide untuk berwirausaha di bidang aksesori kerajinan berbahan kulit. “Kami ingin kembali ke Bandung, tapi saya tidak mau jadi fotografer karena tidak menjanjikan,” kata Kin.









Yang membedakan dengan produk pengrajin lain, kerajinan kulit mereka handmade,dibuat dengan tangan, bukan dengan mesin. “Kami sendiri yang membuatnya secara langsung, sehingga kami bisa menjamin kualitas yang ditawarkan,” kata Kin yang menarget pasar mahasiswa dan pemuda idealis di rentang usia 18-40 tahun.





Selain dibuat dengan tangan, Southeast juga memilih tanpa mitra, tanpa pinjaman modal, tanpa bantuan finansial dari orang tua. Mengapa? “Kami benar-benar ingin mandiri,” ujar Kin menegaskan.Ia menggunakan modal awal Rp 9 juta dari hasil penjualan beberapa peralatan fotografi.





Setahap demi setahap, Southeast menemukan pelanggan. Lewat penjualan secara online, melalui Instagram dan beberapa e-commerce, pelanggan Southeast mulai terbentuk. “Kami selalu mengembangkan inovasi baru, menghindari kesamaan dengan kompetitor. Kami pun mewarnai bahan kulit kami sendiri, sehingga ada beberapa warna yang tidak dimiliki kompetitor lain,” kata Kin tentang perbedaan produknya dengan produk lain.





Adapun bahan yang digunakan tetap kulit. Selain menggunakan kulit sapi, Southeast juga memakai kulit kerbau karena tingkat kepadatannya baik dan tidak melar. Berbeda dengan kulit sapi pada umumnya, yang apabila menahan beban kamera, DSLR khususnya, akan melar.





Pihaknya juga mewarkan penulisan nama inisial pembeli pada produk yang dibeli secara gratis. “Saat ini kami sedang bereksperimen untuk mengembangkan warna, desain. dan motif baru,” kata Kin.









Memang, untuk produksi, diakui Kin, masih menjumpai banyak kendala. Pengalaman yang paling tidak mengenakkan ialah ketika menghadapi sulitnya sistem impor di Indonesia, karena beberapa material yang digunakan berasal dari Jepang, Hong Kong, dan Italia. “Kami pernah kehabisan material produksi dan harus menunggu selama enam bulan karena beberapa bahan kami tertahan di Bea Cukai,” kata Kin mengenang.





Dengan harga jual tali jam Rp 190.000-250.000, dompet Rp 350.000-780.000, dan tas sekitar Rp 2.000.000, Kin optimistis dapat melampaui target penjualan. Kini Southeast berhasil menjual 40-60 kerajinan per bulan. Karena sistemnya praorder, pelanggan juga bisa memilih bahan dan warna yang diinginkan. Untuk praorder dompet, 4-5 hari selesai. Produk yang lain, bisa selesai dalam sehari.





Dengan model penjualan seperti itu, omset Southeast rata-rata Rp 25 juta-30 juta per bulan. Kalau di bulan-bulan puncak, permintaan akan melebihi jumlah itu. Kin menyadari, sebagai pemain artisan, ego dan idealisme sangat tinggi. Sehingga, saat ini mereka masih memproduksi sendiri produknya, tanpa bantuan karyawan. Kin menangani desain, produksi, dan pewarnaan, sedangkan Nadya menjahit dan mengemas.





“Kami menganggap produk kami sebagai karya, bukan sekadar barang. Kami tidak memiliki kepercayaan untuk menyerahkan proses produksi ke tangan orang lain,” kata Kin tandas. Ia yakin, dengan idealisme seperti itu, bisnis kerajinan kulitnya akan tetap maju. (Reportase: Chandra Maulana)





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/southeast-kerajinan-kulit-handmade-kin-nadya





rumah baru masih berantakan? hubungi cleaning service panggilan jogja untuk solusi terbaik


Download >>

Strategi Fajar Maulana Merintis Wisata Udara


Dunia aviasi tidak terbatas hanya pada transportasi udara saja. Flytours Indonesia, startup yang dirintis Fajar Maulana, berfokus pada industri pariwisata yang mengombinasikan kedirgantaraan dan travelling. Ia mengembangkan startup ini dengan tujuan mengembangkan wisata udara yang dilengkapi dengan tour layanan penuh.





Beberapa negara telah membuktikan bahwa kegitan bisnis ini menjadi program unggulan untuk mendatangkan turis, di antaranya Malaysia dengan Malaysia Balon Udara Tour, Maldives, Bahamas, dan Hawaii.





Fajar Maulana mendirikan startup Flytours pada November 2016 dan membentuk tim pada Maret 2017. Startup ini terdaftar sebagai perseroan terbatas dengan nama PT Aurora Sayap Abadi. Adapun Flytours merupakan sebuah webside dan aplikasi daring untuk pemesanan kegiatan kedirgantaraan bagi traveler yang ingin mendapatkan pengalaman baru dan atau menjalankan hobinya dalam dunia kedirgantaraan Indonesia.





Layaan yang diberikan Flytours meliputi terbang santai, terbang jelajah, paralayang, terjun payung, dan hot air balloon. Terbang jelajah melayani rute-rute zona pariwisata, misalnya dari Bali ke Banyuwangi, Labuan Bajo, Lombok dan kembali lagi ke Bali. Layanan lain seperti hot air balloon disediakan di daerah Bromo, Borobudur dan beragam kota di Indonesia.





Startup ini berhasil masuk ke dalam 30 besar startup yang diinkubasi Kementerian Pariwisata dalam program Wonderful Startup Academi Batch II. Di bawah ini wawancara SWAonline dengan Fajar Maulana, CEO Flytours Indonesia.





Apa latar belakang pendidikan dan kerier
Anda sebelum mendirikan Flytours?





Saya memiliki minat untuk menjadi penerbang. Setelah lulus SMA ada dua sekolah yang menjadi pemikiran saya untuk melanjutkan, yaitu Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug dan Bandung Pilot Academy. Akhirnya saya pilih Bandung Pilot Academy. Setelah selesai, saya mengambil sekolah lanjutan untuk instruktur pilot di Halim, lalu terbangnya di Curug. Setelah itu saya bekerja sebagai flight instructor di Banyuwangi. Tidak hanya mengajari terbang tetapi juga teori. Saya bekerja di sana selama 2 tahun mengajari calon pilot maskapai.





Setelah itu saya ke Sulawesi menjadi corporate pilot untuk pesawat charter di White Sky Aviation yang terbang untuk melayani company private, VIP. Ini sudah berjalan tahun kedua sampai sekarang.





Bagaimana timbul ide mendirikan Flytour?





Ide bisnis Flytours tercetus waktu saya di Banyuwangi. Waktu itu saya sama sekali tidak tahu bagaimana kondisi dunia aviasi di Indonesia secara umum. Setelah saya selesai di Banyuwangi, saya pindah ke Sulawesi. Ketertarikan saya di pariwisata, karena merupakan sektor bisnis yang everlasting.





Setelah saya terbang melewati pulau-pulau kecil yang eksotis, saya memikirkan ide ada pesawat amphibi yang bisa membawa wisatawan masuk ke pulau kecil itu. Akhirnya tercetus platform di mana wisatawan bisa pergi ke suatu tempat yang terisolasi tapi dengan waktu yang singkat. Pertamanya itu, akhirnya berkembang hingga platform yang sekarang. Dimana kami sudah melebarkan divisi menjadi platform khusus wisata udara. Jadi seluruh olahraga udara, wisata udara kami tampung di website kami. Mau ada terbang layang, terjun payung, terbang latih, terbang santai, balon udara, kami buat platform itu.





Siapa pesaing Flytours?





Di Indonesia belum ada yang seperti kami. Yang ada itu hanya wisata khusus seperti wisata helicopter di Bali yang harganya mencapai Rp 8 jutaan.





Karena terbatasnya informasi di masyarakat, makanya saya membuka portal ini untuk memudahkan masyarakat mengakses olahraga dirgantara dan wisata udara. Kami ingin regenerasi di olahraga dirgantara. Kami mengembangkan bisnis di wisata udara, yaitu balon udara dan terbang jelajah. Terbang jelajah menggunakan pesawat pribadi, kalau bisa amphibi selama 6-7 hari. Setelah itu pindah tempat lalu kembali ke tempat semula. Layanan ini bersifat full service berikuthotel, transportasi darat, makanan, asuransi, dan transportasi udara.





Bagaimana persiapan sebelum membangun
bisnis?





Awalnya mematangkan ide dulu. Awalnya kami berempat, timnya belum solid. Akhirnya pecah karena memiliki kesibukan masing-masing, tapi saya tetap kontinyu. Itu tahun 2017. Pertengahan 2018 saya bertemu dengan tim baru dan mereka mau dengan apa yang saya pikirkan, dengan visi yang sama. Mereka turun dan sekarang kami ada berempat. Sudah legal sebagai PT. Tahun 2019 kami tinggal mengembangkan di sistem ordernya.





Berapa modalnya?





Sekitar Rp 30 juta untuk membangun website, biaya perjalanan dan legalitas perseroan. Sedangkan untuk membeli dua balon udara dan satu pesawat amphibi tipe Cesna 206 memerlukan investasi Rp 22 miliar. Sementara itu, biaya operasional pesawat amphibi sekitar Rp 6 juta per jam. Sedangkan untuk balon udara menghabiskan Rp 1,5 juta per terbang selama 40 menit.





Jenis wisata apa saja yang sudah berjalan?





Balon udara on spot (diam di tempat) di Bali karena kami belum tahu keamanan medan di Indonesia untuk balon udara. Jadi kami pilih on spot dulu. Nantinya kami akan melayani keliling pakai balon udara. Misalnya, dari Bromo, ada destinasi lain misal Danau Toba, atau Jakarta.





Ada juga Paralayang di Bali dan Malang. Lalu Joyflight yang menggunakan pesawat terbang 2 penumpang dan 4 penumpang. Terbang bersama safety pilot. Lokasinya dekat dengan Jakarta, di Pondok Cabe dan Cibubur. Sedangkan Skydiving sudah beroperasi di Pangandaran, hanya sekarang ada kendala pesawatanya sedang maintenance.***





Editor: Sujatmaka





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/strategi-fajar-maulana-merintis-wisata-udara





cleaning service panggilan jogja terbaik dengan layanan memuaskan dan harga terjangkau, hubungi kami segera


Download >>

Mantan Vokalis 7Notes Jual Parfum Miliaran Rupiah


Aroma wangi menyelimuti kantor Parfum Gue di kawasan niaga Mal Taman Palem, Cengkareng, Jakarta Barat. Beberapa pegawainya sedang mengemas puluhan botol parfum. Raden Tubagus Wijaya,Founder dan Perfurmer Parfum Gue, mengajak wartawan SWAmenyambangi rumah toko (ruko) berlantai tiga itu untuk meninjau aktivitas pegawai. Di lantai 3, misalnya, tim riset dan pengembangan (R&D) berkonsentrasi meracik aneka wewangian yang berbasis analisis teknologiPersonal Scent Online Application (Persona).





Teknologi ini mendeteksi formula parfum berdasarkan analisis biodata konsumen, yaitu golongan darah, tanggal lahir, dan gender, serta telah didaftarkan dan dipatenkan Tubagus ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Kami memproduksi parfum berdasarkan biodata diri konsumen, yang dilihat dari nama, tanggal lahir, golongan darah, dan gendernya. Parfum berdasarkan karakter individu ini baru pertama kali di dunia dan setiap pembeli akan mendapatkan racikan parfum yang berbeda dengan yang lain,” tutur Tubagus setengah berpromosi.





PT Parfum Gue Indonesia, entitas bisnis yang memproduksi Parfum Gue, merilis empat varian parfum, yaitu silver (Eau De Parfum) seharga Rp 295 ribu, gold(Esprit De Parfum) Rp 385 ribu, platinum (Extrait De Parfum) Rp 550 ribu, dandiamond (Fine Parfum) yang dibanderol Rp 715 ribu per botol.





Parfum Gue pun laris manis diborong konsumen. “Target omset tahun 2019 rata-rata sekitar Rp 2,5 miliar per bulan,“ ujar Tubagus yang biasa disapa “Tebe”. Jadi, penjualan di sepanjang 2019 ditargetkan senilai Rp 30 miliar. Penjualan Parfum Gue pada Januari-Februari mencapai Rp 3,2 miliar. Mayoritas penjualan Parfum Gue disumbang penjualan online (95 persen dari jumlah total penjualan). Sisanya, dikontribusikan kanal konvensional (offline).





Strategi penjualan ini mengerek pendapatan Parfum Gue tahun lalu. “Omset di Desember 2018 saja mencapai Rp 2,2 miliar,” ungkap Tebe seraya menyebutkan, nilai total omset di tahun 2018 sedang difinalisasi penghitungannya. Tahun ini, ia mematok pembeli Parfum Gue sebanyak 1 juta orang, lebih tinggi daripada jumlah pembeli tahun lalu yang berkisar 600 ribu-700 ribu. “Dengan target ini, Parfum Gue diharapkan bisa mendapatkan rekor MURI sebagai produsen parfum yang telah memproduksi 1 juta parfum karakter individu,” kata Tebe berharap. Untuk menggenjot penjualan, ia menggandeng pesohor Aldi Taher, yang didapuk sebagai CEO Parfum Gue awal tahun lalu. Pesona dan jejaring Aldi di industri hiburan bakal mengerek citra Parfum Gue ke konsumen.





Selanjutnya, Tebe gencar mempromosikan Parfum Gue di kanal digital, yakni di media sosial dan website. “Kami juga meluncurkan iGue 4.0 yang berbasis social commerce, bekerjasama dengan Avana Indonesia dan melakukan endorsementke ratusan artis Indonesia,” kata peraih gelar diploma pemasaran dari Politeknik Pos Indonesia itu, menjabarkan kiatnya.





Sebelumnya, pada 2012-2014 Parfum Gue memasarkan secara semi-online dan penjualannya berkisar 90-110 botol sebulan. Sejak 2015, strategi Parfum Gue diubah; seluruh pemasaran dilakukan di online dan berhasil menopang volume penjualan parfum. “Penjualan kami naik menjadi 1.600 botol per bulan. Di tahun 2018 hingga saat ini, setelah menggunakan platform iGue 4.0 dan pemasaranfull online, penjualan kami naik 3.400-4.000 botol per bulan,” ungkap Tebe. Selain itu, pihaknya juga baru menjajaki untuk membuka offline store di Central Park, Jakarta, bekerjasama dengan Gramedia, untuk meningkatkan brand awareness Parfum Gue kepada masyarakat.





Tebe optimistis pangsa pasar Parfum Gue akan semakin gemuk di masa mendatang. Merujuk data Kementerian Perindustrian tahun 2015, ia menyebutkan, nilai pasar industri parfum nasional sekitar Rp 6,5 triliun dan pangsa pasar Parfum Gue baru 0,5 persen. “Dari total market size tersebut, sebesar 85 persen konsumen Indonesia membeli produk lokal. Dari sinilah, saya tergiur memulai bisnis parfum,” pria kelahiran Bandung, 17 Agustus 1988, ini mengisahkan.





Cikal bakal Parfum Gue bermula di tahun 2012, ketika Tebe melakoni profesi sebagai musisi. Kala itu ia adalah vokalis band 7Notes yang bermarkas di Bandung, Jawa Barat. Ia membagi-bagikan parfum racikannya kepada penonton ketika manggung di berbagai daerah. Penyiar radio pun mendapat pembagian parfum ketika 7Notes tour ke stasiun radio. Sayang, grup musiknya itu bubar dan dibekap kerugian Rp 800 juta. “Tetapi, yang mereka tanyakan adalah parfumnya, bukan band saya,” ujarnya.





Lantas, Tebe meminjam modal Rp 6 juta ke produser eksekutif 7Notes untuk membangun bisnis parfum. Perlahan-lahan, ia berinovasi dengan menggunakan teknologi Persona dan memosisikan keunikan Parfum Gue, yaitu Fragrance Meets Technology. Perlahan-lahan, skala bisnis parfumnya naik kelas. “Saya beruntung karena saya di saat ini adalah pemegang lisensi paten parfum berdasarkan karakter individunya. Parfum Gue pernah mendapatkan dua kali penghargaan dari Gubernur Jawa Barat di masa kepemimpinan Ahmad Heryawan dan saat ini kami telah bekerjasama dengan tiga manufaktur bahan baku parfum. Botolnya pun kami beli dari China karena harga yang lebih murah,” ia menjelaskan.





Yang patut diacungi jempol, bisnis Tebe ini membuka lapangan pekerjaan; kini mempekerjakan 40 orang. Juga, membuka peluang usaha bagi masyarakat. Saat ini ada 33 distributor Parfum Gue di 33 kota di Indonesia, dan agennya mencapai ratusan. Perusahaan Tebe rutin memberikan penghargaan kepada 10 distributor terbaik. Penjualan distributor itu ada yang membukukan omset Rp 1 miliar per bulan, seperti yang dicapai distributor di Sukabumi, Jawa Barat. “Ada juga distributor yang omsetnya mencapai Rp 500 juta sebulan,” ia menambahkan.





Ke depan, Tebe berencana meningkatkan jumlah distributor. Untuk mengembangkan kompetensi tenaga pemasaran, ia menginisiasi Parfum Gue Billionaire Class, program inkubasi bagi mitra bisnis untuk mempelajari seluk-beluk industri parfum dan pemasaran digital. “Selain itu, kami juga mengajak mitra kami agar bisa berbisnis parfum sendiri dengan dukungan dari saya, berupa dukungan supply bahan baku hingga produksinya,” katanya. (*)





Sumber :
https://swa.co.id/swa/trends/marketing/mantan-vokalis-7notes-jual-parfum-miliaran-rupiah





Chandra Maulana & Vicky Rachman





kantor anda membutuhkan jasa layanan pembersihan yang hemat? klik jasa cleaning service jogja untuk solusi terbaik


Download >>

Update App