KlinKlin Indonesia merupakan jasa cleaning service panggilan no.1 di Indonesia. Kami melayani jasa bersih kost Bandung, jasa bersih rumah Bandung dan cleaning service Bandung. Cabang kami tersebar di berbagai wilayah seperti cleaning service jakarta, bandung, jogja, surabaya, malang, semarang, balikpapan, bontang dan lainnya. Hubungi 085877678008
Showing posts with label youngster. Show all posts
Showing posts with label youngster. Show all posts

Kewirausahaan di Balik Software Pendidikan QuintalQuintal


Tren otomasi di berbagai aktivitas kehidupan manusia modern memang menjadi peluang bisnis tersendiri bagi mereka yang jeli melihatnya. Tak terkecuali di bidang pengelolaan sekolah. Peluang itu antara lain ditangkap oleh Danny Saksono dan Henry Fausta, pada awal 2015, dengan mengembangkan software Quintal untuk membantu para pengelola sekolah di bidang administrasi akademik dan kesiswaan. Kini pengguna Quintal tak kurang dari 90 sekolah dan 25 yayasan, dan mencakup 17.000 siswa –80 persen pengguna berada di Jabodetabek.





Usaha ini mulai dirintis pada 2015 awal ketika Danny masih bekerja sebagaiprogrammer di sebuah perusahaan di Singapura. Saat itu ia memang serius mencari ide untuk punya usaha sendiri. Dari sana terpikir untuk menggarapsoftware pendidikan.





“Idenya, agar suatu hari, guru-guru dan murid di Indonesia menggunakan teknologi. Mereka hanya perlu ke sekolah membawa satu komputer tablet saja, seperti saat kita kuliah,” kata Danny. Dari situ ia mengajak kawan-kawannya yang bekerja di beberapa negara, antara lain di Malaysia dan Australia. “Jadi, awalnya kami semua programmer, tidak ada orang bisnis dan marketing,” ungkap lulusan Jurusan Ilmu Komputer, University of New South Wales(Australia) ini.





Software Quintal pada dasarnya sebuah patform untuk membantu sekolah dalam mengurusi administrasi akademik dan kesiswaan. Umumnya, sekolah selalu direpotkan dalam menjalankan administrasi pendidikan karena banyakpaperwork, baik terkait siswa, kurikulum, uang sekolah, tes dan ulangan, maupun pelaporan ke dinas.





Kalangan guru, selain pusing karenaurusan pendidikan, juga harus menangani administrasi. “Ini salah satu masalah yang ingin kami solve,” kata Danny yang menjadi CEO dan Co-Founder Quintal. Ia memberi contoh ulangan online: dengan Quintal, sekarang guru tak perlu lagi mengoreksi ulangan karena siswa mengerjakannya lewat komputer atau tablet. Otomatis nilai langsung tersimpan oleh sistem dan langsung masuk ke buku nilai.





Kelahiran Jakarta 17 September 1986 ini bercerita, selama tujuh bulan pertama merintis usaha, pihaknya fokus mengembangkan software. “Kami lakukan riset dan interview ke guru-guru untuk membuat produk,” katanya mengenang. Otomatis timnya juga mulai belajar tentang kurikulum di Indonesia, berbagai problem guru dan siswa, serta kebutuhan orang tua siswa.





Dalam lima bulan pertama menjual produk, pihaknya berhasil mendapatkan klien tiga sekolah. Danny mengakui, tak mudah menawarkan softwarependidikan ini ke para pengelola sekolah. “Mesti ke sekolah-sekolah yang benar-benar butuh dan mau bayar,” ujarnya.





Salah satu cara untuk memudahkan pemasarannya, Quintal ditawarkan dengan pola Software as a Service (SaaS). Artinya, pengguna hanya membayar berdasarkan penggunaan dan tidak perlu investasi besar di awal, alias model langganan.





Untuk mempercepat penjualan, awalnya dicoba merekrut tim penjualan di Jakarta ataupun daerah. Namun, pola itu rupanya tak cocok dan hasilnya tak sepadan dengan biaya. Hubungan kerjasama dengan sekolah pun tidaksustainable. “Akhirnya, kami ubah hingga sekarang, jualan dengan cara bekerjasama dengan partner yang memang biasa menjual produk ke sekolah. Contohnya, menggandeng PesonaEdu dan pihak-pihak lain yang sudah terbiasa jualan ke sekolah, misalnya berjualan buku atau pelatihan. Mereka kami kasihsharing reveneu,” ungkap Danny. Yang pasti, penjualan menjadi lebih lancar setelah caranya diganti.





Danny menjelaskan, salah satu diferensiasi Quintal, selain produknya bisacostumized sesuai dengan kebutuhan sekolah, pihaknya juga menjaga kepuasan pelanggan. “Sekolah bayar langganan penggunaan dan kami tidak akan tinggalkan mereka,” ujarnya. Pihaknya juga terus melakukan inovasi agar produknya selalu fresh dan update. “Untuk biaya langganan, harga paket fullritel Rp 2 juta per unit (misalnya per SD atau SMP) plus Rp 15 ribu per anak per bulan,” katanya.





Diakui Danny, dari 90 sekolah penggunanya saat ini, kebanyakan memang sekolah swasta dari segmen kelas menengah-atas --milik pengusaha swasta dan yayasan. “Mungkin ini lebih ke cara pembelian, kalau sekolah swasta lebih simpel. Di sekolah swasta, urusan pembelian ini otonomi dari yayasan, bahkan kadang kepala sekolah saja sudah cukup. Kalau sekolah negeri, agak beda,” katanya. Urusan pembelian di sekolah negeri lebih kompleks, apalagi yang sifatnya subskripsi atau langganan, terkadang mesti melalui APBD. Namun, Danny dan timnya tetap terus mencoba menggarap sekolah negeri pelan-pelan.





Danny dan timnya merasa pertumbuhan usahanya sudah on track. Kini anggota tim Quintal tak kurang dari 15 orang. Ia ingat, awalnya timnya tidak terima gaji pada delapan bulan pertama berdiri. Waktu itu bisa jalan karena ia dan teman-temannya pada posisi pernah bekerja sehingga punya tabungan. Namun setelah bisnisnya mulai mendapatkan revenue ratusan juga per bulan seperti saat ini dan mendapat pendanaan dari East Venture tahun 2016 (US$ 200 ribu), timnya pun lebih lengkap dan ia bisa menggaji mereka dengan baik.





Ke depan, selain memperkuat pemasaran ke sekolah swasta, Quintal akan lebih intens melakukan pendekatan ke dinas di daerah sebagai kanal untuk mengenalkan Quintal. “Target tahun ini kami bisa masuk ke public school di daerah-daerah,” kata pria yang pernah berkarier sebagai Analis Sistem Seniordi Mobile Xperience Ple. Ltd. ini.





Pihaknya juga akan menggodok proses digitalisasi buku dengan penerbit. Danny yakin produknya akan makin diminati karena bagi sekolah, kehadiran Quintal pasti menjadikan manajemen sekolah lebih efisien. Selain itu, juga menjadi nilai tambah pemasaran karena berarti proses manajemen dan administrasi di sekolah itu sudah modern dan terotomasi. (*)





Sumber : https://swa.co.id/youngster-inc/youngsterinc-startup/kewirausahaan-di-balik-software-pendidikan-quintalquintal





Sudarmadi & Nisrina Salma





kost anda kotor dan tidak sempat membersihkannya? serahkan kepada kami jasa bersih kos jogja


Download >>

Dea Valencia, di Balik Jahitan “Batik Kultur”


Tanggal 23 Maret 2019 tidak akan terlupakan bagi Dea Valencia. Saat itu, untuk pertama kalinya, ia mempersembahkan peragaan busana Batik Kultur hasil kerja keras rekan-rekannya para pekerja difabel dan nondifabel. Bertempat di Kaca Coffee & Eatery, Sudirman, Jakarta Pusat, Dea menyuguhkan tema “Behind The Seams” (Di Balik Jahitan) sekaligus menandai pembukaan gerai Batik Kultur di Jakarta yang terletak di Kaca Coffee & Eatery tersebut.





Kehadiran perempuan kelahiran Semarang, 14 Februari 1994, ini di industrifashion sejak awal memang sudah menarik perhatian. Ketika mengembangkan Batik Kultur delapan tahun lalu, saat masih berusia 17 tahun, Dea sudah mencuri perhatian dengan pilihan desain batik yang unik: hanya memberikan aksen pada kain bersiluet sederhana melalui penempatan yang unik lukisan batik kupu-kupu, bunga-bunga, atau burung-burung agar tampilan keseluruhan tak tampak berat. Selain itu, ia juga dikenal gigih mendorong para penyandang disabilitas untuk turut dalam proses kreatifnya.





Tentang hal itu, putri pasangan Ariyani Utoyo dan Iskiworo Budiarto ini mengatakan, semua adalah proses panjang dari pembelajaran yang didapatkannya dari hari ke hari. Dea merasa sekolah terlalu cepat, sehingga ketika kawan-kawannya masih asyik bermain, ia sudah serius menata pekerjaan. Kini, giliran teman-temannya memasuki dunia kerja, Dea sudah sampai tahap memantapkan pekerjaan dengan berbagai idealisme yang sempat tertunda. Seperti idealisme memperkerjakan kalangan disabilitas, baginya, membutuhkan keyakinan besar bahwa mereka mampu. Ia berkeyakinan, para penyandang disabilitas pasti memiliki semangat juang yang tinggi melebihi dugaan banyak orang. “Semangat itu harus diakomodir agar mereka mau terus belajar,” ujarnya.





Dea menceritakan, awal perkenalannya dengan kalangan disabilitas dimulai tahun 2013 ketika ia berkunjung ke salah satu pemasok di daerah Ungaran, Jawa Tengah. Saat itu ia melihat beberapa murid magang dari Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso, Surakarta. Mendengar permintaan mereka, Dea tergerak melibatkan mereka dalam pekerjaan, tetapi bukan untuk urusan administrasi, pasang aplikasi, pasang payet, dan lain-lain; melainkan untuk urusan menggambar batik dan menjahit.





“Ya, memang berproses. Mula-mula hanya memperkerjakan tiga penyandang disabilitas. Lambat laun bertambah terus hingga sekarang mencapai 50 orang. “Kami menganggap mereka seperti karyawan lainnya yang normal. Mereka memiliki tugas yang berbeda-beda: menjahit, menjaga toko, menjadi fotografer produk, dan lainnya. Ketika mereka salah, juga dimarahin,” lanjutnya. Dan terbukti, hal itu (dimarahi) berdampak positif ketimbang cuma dikasihani.





Menurut Dea, dampak dari memperkerjakan kalangan disabel sungguh luar biasa. Yang terutama dirasakannya, banyak orang yang terinspirasi dari mereka. Siapa pun yang memiliki badan sempurna setidaknya akan berhenti mengeluh dan tertantang untuk juga bekerja. Selain itu, apa yang dilakukannya juga mendorong teman-teman pengusaha lain untuk berbuat sesuatu bagi mereka yang kurang beruntung. Dan bagi kaum difabel lainnya, ada optimisme bahwa mereka tetap bisa berkarya dan diterima di lingkungan kerja.





Bagi Batik Kultur, hal itu juga memberikan berkah tersendiri. Bisnis batik yang dikelola Dea, tahap demi tahap berkembang menggembirakan. Meski 50% dari sekitar 120 pekerjanya adalah penyandang disabilitas, jumlah produksinya tidak berkurang. Kini, selain memiliki 120 pekerja, pihaknya juga menjalin kemitraan di Pekalongan, Sragen, Solo, Cirebon, dan Jepara (tenun). Setiap kemitraan itu setidaknya memberdayakan 30-40 orang.





Lima kemitraan tersebut berhasil memproduksi ribuan lembar kan batik setiap tahun. Dengan rentang harga dari Rp 400 ribu hingga Rp 2 juta, Batik Kultur telah diekspor ke Norwegia, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, Singapura, dan Hong Kong. Dikatakan Dea, karena tidak mengikuti iklimsummer-spring, seperti produk fashion pada umumnya, ia memang tidak memberikan prioritas besar bagi pasar luar negeri. “Kami hanya mengikutievent-event di Indonesia, seperti Lebaran, Natal, Tahun Baru, Imlek, dan Hari Kartini. Cycle itu yang kami ikuti,” katanya.





Untuk negara yang memiliki empat musim, tekstur bahan batik memang ada yang tidak cocok untuk musim-musim tertentu. Menurutnya, batik cocoknya di iklim tropis seperti Indonesia. “Jadi, fokus utama kami memang belum ekspor. Kami fokus mengembangkan pasar yang ada di Indonesia karena pasarnya masih sangat besar sekali untuk d-explore,” Dea menjelaskan.





Dalam amatan Dea, saat ini masih banyak orang yang belum suka menggunakan batik karena dianggap terlalu formal dan kaku. Maka, untuk menyasar kaum muda, ia pun membuat motif batik yang tidak terlalu penuh. Batik hanya sebagai aksen kecil, misalnya pada saku. Kemudian, batik tidak selalu berkerah atau lengan panjang, ada juga cutting leher atau off shoulderagar terlihat lebih santai. Untuk memberi kesan pinggang yang lebih ramping, selain lewat potongan baju, juga bisa menggunakan aksen tambahan, misalnya tali ikat. Jadi, seperti ada tali di tengah, bisa diiikat sesuai selera.





“Intinya, kami tetap ingin fokus di batik tulis dan tidak ada rencana merambah produk lain, seperti tas atau sepatu,” ungkap Dea. Ia berharap bisa mempertahankan 50% karyawannya adalah kaum disabel. (*)





Dyah Hasto Palupi/Vina Anggita





Sumber : https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/dea-valencia-di-balik-jahitan-batik-kultur





liburan di kost akan terasa lebih nyaman jika ruangan kamu bersih dan rapi, tapi mager? jangan khawatir klik jasa bersih kost jogja untuk solusi terbaik


Download >>

Southeast, Kerajinan Kulit Handmade Kin & Nadya


Harapan dan cita-cita anak muda sering sulit diduga. Seperti yang terjadi pada pasangan suami-istri asal Bandung: Kin Darma dan Nadyatami Amalia Nurul Ichwan. Dua hari setelah menikah, mereka merantau ke Bali, mencari kehidupan baru dari nol dengan melepaskan diri dari semua embel-embel, fasilitas pendidikan --bahkan memilih putus kuliah-- ataupun fasilitas ekonomi dari orang tua.





Apa yang mereka cari? “Kami ingin menjemput peruntungan di Pulau Dewata yang cocok dengan jiwa kami,” ungkap Kin yang bersama istrinya pernah menempuh pendidikan di bidang desain komunikasi visual di Bandung, tetapi tidak selesai. “Hobi saya menggambar karakter. Tapi di Bali saya bekerja sebagai freelance photographer,” kata Kin yang saat menjadi pengantin baru itu, tinggal di rumah kontrakan, tanpa saudara, dan hanya memiliki sedikit teman.





Rupanya Bali bukan tempat yang tepat bagi pasangan muda ini. Selama di sana, banyak sekali peristiwa yang membuat mereka trauma dan depresi, mulai dari harus melakukan aborsi karena janin calon bayi mereka tidak berkembang, sang istri yang tidak pernah berhenti menangis, hingga uang terkuras habis karena ditipu seseorang di mesin anjungan tunai mandiri.





Gara-gara suasana batin yang tidak kondusif, kurang dari setahun, Kin dua kali berganti pekerjaan. Awalnya, pernah bekerja dan tinggal di wilayah selatan Bali, kemudian pernah juga bekerja dan tinggal di wilayah timur Bali. Kedua pengalaman itu sangat mengesankan bagi Kin dan istri, sehingga ketika mencari nama untuk produk kerajinannya, lahirlah nama Southeast untuk mengingatkan masa-masa perjuangan mereka. “Southeast adalah nama yang menjadi motivasi kami dalam berjuang karena mengingatkan pengalaman dan pelajaran selama di Bali, termasuk suka, duka, dan kecewa,” ungkap Kin yang kini berusia 32 tahun.





Di tengah keterpurukan itu, Kin dan istri memang rajin menonton video tutorial di YouTube, untuk menggali ide-ide untuk berwirausaha di bidang aksesori kerajinan berbahan kulit. “Kami ingin kembali ke Bandung, tapi saya tidak mau jadi fotografer karena tidak menjanjikan,” kata Kin.









Yang membedakan dengan produk pengrajin lain, kerajinan kulit mereka handmade,dibuat dengan tangan, bukan dengan mesin. “Kami sendiri yang membuatnya secara langsung, sehingga kami bisa menjamin kualitas yang ditawarkan,” kata Kin yang menarget pasar mahasiswa dan pemuda idealis di rentang usia 18-40 tahun.





Selain dibuat dengan tangan, Southeast juga memilih tanpa mitra, tanpa pinjaman modal, tanpa bantuan finansial dari orang tua. Mengapa? “Kami benar-benar ingin mandiri,” ujar Kin menegaskan.Ia menggunakan modal awal Rp 9 juta dari hasil penjualan beberapa peralatan fotografi.





Setahap demi setahap, Southeast menemukan pelanggan. Lewat penjualan secara online, melalui Instagram dan beberapa e-commerce, pelanggan Southeast mulai terbentuk. “Kami selalu mengembangkan inovasi baru, menghindari kesamaan dengan kompetitor. Kami pun mewarnai bahan kulit kami sendiri, sehingga ada beberapa warna yang tidak dimiliki kompetitor lain,” kata Kin tentang perbedaan produknya dengan produk lain.





Adapun bahan yang digunakan tetap kulit. Selain menggunakan kulit sapi, Southeast juga memakai kulit kerbau karena tingkat kepadatannya baik dan tidak melar. Berbeda dengan kulit sapi pada umumnya, yang apabila menahan beban kamera, DSLR khususnya, akan melar.





Pihaknya juga mewarkan penulisan nama inisial pembeli pada produk yang dibeli secara gratis. “Saat ini kami sedang bereksperimen untuk mengembangkan warna, desain. dan motif baru,” kata Kin.









Memang, untuk produksi, diakui Kin, masih menjumpai banyak kendala. Pengalaman yang paling tidak mengenakkan ialah ketika menghadapi sulitnya sistem impor di Indonesia, karena beberapa material yang digunakan berasal dari Jepang, Hong Kong, dan Italia. “Kami pernah kehabisan material produksi dan harus menunggu selama enam bulan karena beberapa bahan kami tertahan di Bea Cukai,” kata Kin mengenang.





Dengan harga jual tali jam Rp 190.000-250.000, dompet Rp 350.000-780.000, dan tas sekitar Rp 2.000.000, Kin optimistis dapat melampaui target penjualan. Kini Southeast berhasil menjual 40-60 kerajinan per bulan. Karena sistemnya praorder, pelanggan juga bisa memilih bahan dan warna yang diinginkan. Untuk praorder dompet, 4-5 hari selesai. Produk yang lain, bisa selesai dalam sehari.





Dengan model penjualan seperti itu, omset Southeast rata-rata Rp 25 juta-30 juta per bulan. Kalau di bulan-bulan puncak, permintaan akan melebihi jumlah itu. Kin menyadari, sebagai pemain artisan, ego dan idealisme sangat tinggi. Sehingga, saat ini mereka masih memproduksi sendiri produknya, tanpa bantuan karyawan. Kin menangani desain, produksi, dan pewarnaan, sedangkan Nadya menjahit dan mengemas.





“Kami menganggap produk kami sebagai karya, bukan sekadar barang. Kami tidak memiliki kepercayaan untuk menyerahkan proses produksi ke tangan orang lain,” kata Kin tandas. Ia yakin, dengan idealisme seperti itu, bisnis kerajinan kulitnya akan tetap maju. (Reportase: Chandra Maulana)





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/entrepreneur-youngsterinc/southeast-kerajinan-kulit-handmade-kin-nadya





apakah anda sibuk dan tidak sempat membersihkan hunian anda, klik jasa bersih bersih jogja untuk mendapatkan solusi terbaik


Download >>

Melisa Irene


Mengawali karier dengan magang di East Ventures sembari menyelesaikan skripsi tidak membuat Melisa Irene berkecil hati. Ia justru terpacu belajar lebih giat hingga menyelesaikan S-1 Akuntansi, Universitas Binus International, Jakarta. Dan, Melisa tidak menyangka kariernya terus melesat. Kini ia tercatat sebagai partnertermuda di East Ventures.





East Ventures adalah perusahaan investasi yang fokus pada pendanaan usaha tahap awal (early stage startup). Sejauh ini East Ventures memiliki portofolio aktif di enam negara, yaitu Indonesia, Jepang, Amerika Serikat, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sementara di skala global, East Ventures aktif mendanai lebih dari 150 perusahaan seluruh Asia dan AS. Fokus pendanaannya pada perusahaan rintisan yang bergerak di bidang terkait e-commerce, social, gamemobile services, dll.





Melisa bergabung dengan East Ventures sejak 2015 sebagai associates dan berhasil membuat berbagai keputusan investasi untuk perusahaan. Hanya dalam waktu tiga tahun, jabatan wanita kelahiran 18 Januari ini berhasil naik menjadi principal, sampai akhirnya dipromosikan menjadi partner wanita pertama dan termuda di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.





Alasan Melisa bekerja di perusahaan modal ventura: ingin selalu menyaksikan dan mengambil bagian dalam era transformasi digital Indonesia. “Bersama East Ventures, tiap hari adalah kesempatan belajar baru karena kami selalu bertaruh pada para founder muda (startup) yang kebanyakan dari mereka memang baru pertama kali membangun ekosistem teknologi di Indonesia,” kata eksekutif wanita yang pernah bekerja di P&G Indonesia ini.





Bagi Melisa, jabatan yang diembannya adalah kepercayaan yang diberikan perusahaan. Ia berharap dapat mendukung tim lebih baik lagi untuk melaksanakan misi East Ventures dalam memajukan ekosistem digital Indonesia.





Diakuinya, budaya kerja East Ventures berhasil membangun dirinya lebih baik. Nilai-nilai kerja itu antara lain kompetitif, cepat tanggap, saling percaya, dan punya integritas. “Kami selalu dikenal dengan kerja cepat. Jika ada deal, kami yang pertama bisa goal. Bagaimana kami bisa jadi yang terbaik soal portofolio adalah harus kompetitif. Selain itu, kecepatan adalah kunci penting. Semua orang di kantor harus cepat tanggap,” ungkap dia.





Lalu, personel East Ventures dituntut memiliki empati besar. Hubungan East Ventures dengan founder perusahaan startup itu dasarnya kepercayaan. “Jadi, kami menaruh kepercayaan sebagai hubungan bisnis. Kami selalu dipaksa untuk berpikir dari angle para founder. Misalnya, ketika kami bekerjasama denganfounder, kami harus menyamakan visinya dulu,” kata Melisa menguraikan.





Nilai yang tak kalah penting adalah integritas. “Kami berusaha bergerak secepatnya, tapi kami juga berusaha mengatur ekspektasi. Kami harus berusaha menjaga janji untuk menepati kepada founder startup,” tutur Melisa meyakinkan.





Ia menjelaskan, sebelum memutuskan berinvestasi ke startup, tim East Ventures mempelajari profil perusahaan rintisan tersebut. Setelah melakukan penilaian terhadap orangnya, dilanjutkan dengan penilaian terhadap pasar sektor industri tersebut dengan beberapa analisis kuantitatif untuk memvalidasi apakan benar pasarnya bagus atau tidak.





Setelah itu, seiring berjalannya waktu, langkah tim East Ventures lebih ke arah menjaga perusahaan yang sudah disuntik dana investasi. Jadi, bagaimana tumbuh bersama perusahaan rintisan yang didanai tersebut. Mulai dari bagaimana memonitor perusahaan dan apa yang bisa dibantu dalam pengembangan bisnis.





Melisa mengaku masih enjoy dengan dunia modal ventura sekarang. “Ke depan, PR saya masih banyak. Mungkin, kelak saya akan beralih kerja sendiri dan bagaimana membuat orang lain bisa melakukan pekerjaannya dan mencariopportunity, sehingga perusahaan makin berkembang,” ucapnya.





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/siapa-dia/melisa-irene





Eva M. Rahayu/Nisrina Salma





bagaimana jika anda ingin menggunakan rumah baru namun masih dalam keadaan kotor? tenang, serahkan kepada kami jasa bersih bersih jogja untuk solusi anda


Download >>

Berbagi Bisnis ala Vincent


Apa jalan cepat untuk berbisnis? Bagi yang tak ingin repot, pakar bisnis kerap menyarankan jalur yang satu ini: mengambil waralaba (franchise).





Namun, tentu saja, memilih waralaba yang tepat, menguntungkan, dan risikonya terukur tidaklah mudah. Terbukti, banyak cerita sedih di tengah menjamurnya waralaba. Investor merugi. Padahal, sudah banyak uang dibenamkan.





Melihat hal itu, Heinrich Vincent bersama tiga temannya datang menawarkan gagasan: Bizhare, sebuah bisnis equity crowd investment. Ide ini muncul setelah Vincent mengambil waralaba Indomaret bersama enam temannya di Bogor, pertengahan 2017. Saat itu butuh Rp 1 miliar satu gerai. Bukan nilai sedikit bagi banyak orang.





“Saya terpikir mengapa tidak membuat cara investasi bersama (equity crowd investment). Bukan saja (untuk) bisnis ritel, tapi waralaba lain. Investor (pun) bukan kontrak jangka pendek. Namanya tertulis di PT sebagai pemegang saham,” ungkapnya.





Oktober 2017 Bizhare berdiri. Vincent menggandeng tiga teman yang bertemu saat perhelatan Gerak Nasional 1.000 Startup Digital. Ketiga rekannya itu adalah Gatot Adhi Wibowo (menjadi CFO), Giovanni Umboh (CTO), dan Wahyu Sanjaya (CIO). Sementara Vincent sendiri didapuk menjadi CEO Bizhare.





Awalnya, Bizhare berbentuk grup Whatsapp(WAG). Isinya para calon investor yang terkumpul lewat getok tular. Interaksi pun terjadi. Setelah Vincent dkk. mengirimkan proposal ke pihak franchisor, mereka melemparnya ke grup. Siapa tertarik, lalu berinvestasi. Laporan dikirim rutin.





Lama-kelamaan, jumlah anggota berkembang. Bizhare lalu dikembangkan menjadi web-based, dan Juni 2019 akan menjadi aplikasi. Pertimbangannya: investor ingin lebih mudah memilih waralaba dan melihat hasil investasi.





Sekarang, 14 ribu investor bergabung di Bizhare dengan investasi mulai dari Rp 5 juta. Lewat Bizhare.id mereka memilih beragambisnis, dari ritel, gerai makanan, hingga tambak udang yang nilai investasi per bisnisnya mulai dari Rp 200 juta hingga miliaran rupiah. “Di website juga bisa terlihat detail bisnis waralaba yang sudah maupun yang akan dibuka. Diketahui ROI (return on investment) berapa persen per tahun, estimasi profit per bulan berapa,” kata Vincent, lajang kelahiran 18 Agustus 1994.





Saat ini rekanan pewaralaba (franchisor) yang bergabung makin beragam, mulai dari laundry, resto, hingga tambak udang. Di antaranya, Laundry Klin by KlinnKlin, Kedai Kopi Foresthree, Smokey Kebab, Fish Streat, Mr. Montir, dan Tambak Udang Vadame by Baba Rafi Group.





Untuk menjaga kepercayaan, Vincent dkk. mengelola laporan keuangan serta pembagian profit. Keuntungan dikirim ke fitur e-wallet yang tersedia di website.Investor bisa mencairkannya, mentransfer ke rekening masing-masing. Laporan keuangan bisa dilihat di dashboard dandiunduh.





Agar maksimal, Bizhare memiliki tim pendukung (business support) untuk waralaba yang sudah dibuka. Jadi, dalam setiap waralaba yang dibuka, ada PT sendiri. Lalu, dari para investor, dipilih yang menjadi direktur serta komisaris. Merekalah yang berinteraksi dengan pewaralaba dan business support Bizhare.





Bizhare mengambil 5 persen dari total investasi. Tiap bulan ada biaya 5 persen dari tiap profit yang dibagikan ke investor. “Bisa saja kami lepas, diambil fee di depan. (Namun) Dengan mengambil profit, sebenarnya (itu) bagian dari tanggung jawab moral kami, agar terus memikirkan waralaba yang ditawarkan tetap bagus, juga sebagai dari operation cost business support kami,” kata Vincent yang pernah mendirikan perusahaan konsultan arsitektur.





Anang Sukandar, Ketua Kehormatan Asosiasi Franchise Indonesia, menyambut terobosan yang dilakukan Bizhare. Dalam acara seminar Investing Business in Digital Era pada 23 Februari lalu di Menara by Kibar, Anang mengajak yang kekurangan modal untuk buka waralaba melalui platform yang dibesut Vincent dkk. “Bizhare ini sangat tepat sebagai solusi bagi mereka yang kekurangan modal,” katanya.





Tanpa bisa ditahan, berkembangnya Bizhare membuat para investor ingin mendanai usaha ini. Vincent dkk. kini dalam proses legal dengan Plug and Play Tech Center, akselerator startup jaringan dan platform inovasi. Selain itu, mereka juga dalam penjajakan dengan sebuah venture capital dari Singapura dan angel investor dari Indonesia.





Menurut Vincent, saat ini ada 12 bisnis waralaba yang dibangun dengan total dana yang diputar mencapai Rp 6,2 miliar. Dia menargetkan hingga akhir 2019 uang diputar mencapai Rp 40 miliar untuk mendanai 80 bisnis.





Bagi Nilam Sari, CEO Baba Rafi --seperti disampaikannya saat memperkenalkancontainer smokey kebab di SPBU Kemang yang dikembangkan melalui Bizhare.id pada Februari lalu-- konsep gotong royong dalam permodalan waralaba ini memudahkan masyarakat yang ingin memulai bisnis tetapi terkendala modal. Nilam menyebutkan, untuk tipe kontainer kebab ini investasinya Rp 250 juta, dengan sistem gotong royong bisa hanya Rp 25 juta-30 juta per orang. Selain di SPBU Kemang, gerai serupa juga akan dibuka di SPBU Mampang bersama Bizhare.





Melihat perkembangan Bizhare, wajar jika Vincent dkk. merasa senang. Namun, Anang Sukandar mengingatkan bahwa walau investornya sudah belasan ribu, Bizhare harus tetap selekif dalam memilih waralaba. “Bizhare harus meningkatkan analisis dalam pemilihan bisnis franchise apa yang mau dibuka karena ini berhubungan dengan kepercayaan investor,” kata Anang.(*)





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/youngsterinc-startup/berbagi-bisnis-ala-vincent





rumah anda kotor? tenang, klik jasa bersih bersih jogja untuk solusi terbaik


Download >>

Adhi Setyo Santoso


Menjalankan dua peran sekaligus sebagai profesional dan pengusaha tidaklah mudah. Namun, Adhi Setyo Santosoberhasil melakoni kedua pekerjaannya itu dengan baik. Sebagai profesional, Adhi dikenal sebagai dosen Business Administrationserta Direktur Biro Kewirausahaan & Inkubator Bisnis President University, Cikarang, Jawa Barat.





Perjalanan kariernya sebagai akademisi diawali dengan menjadi anggota riset di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB). Kemudian, saat kuliah MBA di Korea Selatan, Adhi turut mengajar di Universitas Terbuka melalui metode pembelajaran jarak jauh. Saat itu mahasiswanya mayoritas TKI yang sedang bekerja di Kor-Sel.





Sekembalinya ke Indonesia, Adhi mengajar di SBM ITB dan turut berkontribusi dalam mengembangkan program MBA in Creative and Cultural Entrepreneurship(MBA-CCE). Setelah menikah, dia pindah ke Jakarta dan mulai mengajar di Podomoro University. Kemudian, dia bergabung dengan President University tahun 2016 hingga sekarang. Pada 2018, dia juga sempat bekerja di Inggris sebagai visiting researcher di University of Gloucestershire, Inggris.





Di kancah bisnis, Adhi memiliki perusahaan yang membidangi pengembangan infrastruktur teknologi informasi dan aplikasi mobile bernama PT Biline Aplikasi Digital. Dia menjalankan perusahaan ini bersama teman-teman kampusnya ketika kuliah di ITB dan di Kor-Sel. Sampai saat ini, lima tahun sudah dia menjadi CEOperusahaan tersebut dan membantu perusahaan lokal, multinasional, serta global untuk membangun infrastruktur digitalnya.





“Tugas utama saya di President University adalah mendukung visi universitas untuk menciptakan 25 persen lulusan menjadi entrepreneur. Program-program saya melingkupi pendidikan kewirausahaan di kelas dan luar kelas melalui inkubator bisnis bernama SetSail,” ungkap pria 31 tahun yang kini menempuh pendidikan doktor (S-3) di Universitas Indonesia dengan fokus penelitian Open Innovation in Digital Platforini.





Untuk mencapai target itu, infrastruktur pendukung yang telah disiapkan: co-working space, digital business and technology experimentation lab, programmentorship bersama para praktisi yang relevan, funding, pinjaman, serta berbagai dukungan kegiatan kewirausahaan lainnya, bekerjasama dengan berbagai pihak terkait.





Adhi mengaku tertarik bergabung dengan President University karena karakteristik universitas tersebut cukup berbeda dengan beberapa universitas tempat dia bekerja sebelumnya. “Di President University, sifatnya global environment melalui metode pengajaran dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di seluruh mata kuliah. Saat ini, President University juga satu-satunya di Indonesia yang memiliki presentase mahasiswa asing terbanyak,” katanya.





Selain itu, menurut lulusan S-1 Teknik Telekomunikasi ITB ini, President University berkaitan erat dengan dunia industri. Karena berada di jantung kawasan industri Jababeka yang terbesar di Asia Tenggara, dukungan dunia industri terhadap universitas untuk memberikan knowledge juga sangat besar.





“Di President University, saya banyak melakukan hal baru yang saya sendiri bahkan universitas ini belum pernah melakukan sebelumnya,” kata Adhi. Dia mencontohkan, kini dirinya menjadi koordinator program hibah dari Erasmus (Uni Eropa) bernama Growing Indonesia-Triangular Approach (GITA) senilai hampir 1 juta euro untuk membentuk entrepreneurial university di tujuh universitas di Indonesia.





Prestasi lain yang dia torehkan bersama tim adalah menginisiasi International Conference on Family Business and Entrepreneurship (ICFBE) yang mempertemukan para praktisi bisnis keluarga dengan akademisi yang berasal dari 15 negara lebih di dunia yang memiliki penelitian pada bidang tersebut. Konferensi tahunan ini telah sukses berjalan pada 2017 dan 2018. Saat ini sedang mempersiapkan ICFBE yang ketiga.





“Melakukan hal-hal baru yang minim benchmark pada organisasi ini mengajarkan kepada saya menjadi pribadi yang adaptif dan agile,” ungkap Adhi. Hal yang akan dia lakukan dalam waktu dekat adalah meluncurkan program konsentrasi Digital Business and Technology pada program studi Business Administration karena sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap institusi. (*)





Sumber :
https://swa.co.id/youngster-inc/siapa-dia/adhi-setyo-santoso





Eva M.Rahayu/Chandra Maulana





jika anda membutuhkan jasa bersih kost jogja, silahkan klin disini untuk solusi terbaik


Download >>

Update App